DETAIL

Tarif, Ketegangan Geopolitik, dan Jeda Sementara

Babak Baru Perang Dagang AS–China

Dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, dunia kembali menghadapi babak baru dalam kebijakan dagang agresif Amerika Serikat. Persaingan antara dua ekonomi terbesar dunia telah bergeser dari retorika keras menjadi kenyataan: tarif besar-besaran, pembatasan investasi, dan ancaman pemisahan ekonomi yang kian menguat. Namun, terlepas dari tekanan berkelanjutan dari pihak AS, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa Beijing tidak lagi hanya bertahan—tetapi mulai mengambil sikap yang lebih tegas.

Pada 11 Juni 2025, AS dan China menyepakati kerangka perdagangan sementara di London. Kesepakatan ini disambut hati-hati oleh pasar global, lebih sebagai jeda taktis daripada solusi jangka panjang. Kesepakatan ini mencakup empat poin utama:

  1. Penyesuaian Tarif:
    AS menyederhanakan tarif impornya terhadap barang-barang dari China menjadi 55%, yang terdiri dari tarif dasar 10%, tambahan 20% untuk produk terkait fentanil, dan sisanya dari kebijakan sebelumnya. Sebagai balasan, China menurunkan tarif balasannya menjadi tarif flat 10%, dari sebelumnya hingga 125%.
  2. Kompromi Ekspor Teknologi dan Mineral Kritis:
    China akan kembali mengekspor mineral tanah jarang dan magnet permanen—komponen penting untuk teknologi dan pertahanan AS. Sebagai imbalannya, AS akan melonggarkan sebagian pembatasan ekspor komponen teknologi sipil, meskipun barang berteknologi ganda (militer dan sipil) tetap dilarang.
  3. Relaksasi Terbatas dan Mobilitas:
    Kedua negara menyepakati pelonggaran ekspor untuk barang non-sensitif dan peningkatan mobilitas pelajar. Namun, pembatasan terhadap chip AI dan semikonduktor canggih tetap diberlakukan penuh.
  4. Penegakan Kesepakatan:
    Mekanisme pengawasan yang disepakati masih tentatif: tinjauan kuartalan dan arbitrase pihak ketiga di bawah pengawasan WTO. Sayangnya, detailnya masih kabur dan berpotensi menjadi titik lemah dalam perjanjian.

Ketegangan yang Belum Terselesaikan

Di balik kesepakatan ini, konflik struktural masih terus membara. Dari sudut pandang China, kebijakan ekspor, larangan investasi, dan sanksi yang digerakkan secara ideologis dari AS bukan sekadar persaingan—melainkan bagian dari strategi pembendungan. Sebaliknya, AS menuduh China masih menerapkan pembatasan pasar, pelanggaran hak kekayaan intelektual, transfer teknologi paksa, dan subsidi negara besar-besaran. Ini bukan sekadar perselisihan teknis—melainkan perbedaan fundamental.


Trump di Persimpangan Politik dan Hukum

Trump kini menghadapi dilema besar: mundur dari tarif akan membuatnya tampak lemah (“Supreme TACO – Trump is Chickened Out”), tetapi melanjutkannya bisa memicu kekalahan hukum besar.

Pada Mei 2025, Pengadilan Dagang Internasional AS memutuskan bahwa tarif global Trump melanggar Undang-Undang Kekuasaan Ekonomi Darurat Internasional. Putusan ini berpotensi menggoyahkan landasan hukum dari kebijakan ekonominya dan menghambat agenda dagangnya di masa jabatan kedua.


Xi Jinping: Stabil Namun Tertekan

Meski Xi Jinping masih memegang kekuasaan terpusat dengan visi jangka panjang, ia juga menghadapi tantangan besar. Model pertumbuhan yang digerakkan oleh negara mulai menunjukkan kelelahan:

  • Pengangguran di atas 14%
  • Sektor properti yang kelebihan pasokan dan terjerat utang
  • Investasi swasta yang lesu
  • Strategi “sirkulasi ganda” berisiko menciptakan isolasi ekonomi baru tanpa reformasi nyata

Dampak Ekonomi

Amerika Serikat:
Tarif yang dimaksudkan untuk melindungi industri dalam negeri justru memicu inflasi, menekan kepercayaan bisnis, dan mengganggu rantai pasok. Petani, industri otomotif, dan elektronik menghadapi lonjakan biaya. Dolar AS melemah, dan sentimen investor menjadi hati-hati menjelang pemilu paruh waktu 2026.

China:
Meskipun lebih tangguh, ekonomi China juga tertekan. Subsidi fiskal dan diversifikasi perdagangan membantu, namun tantangan struktural tetap ada: konsumsi rumah tangga rendah, produktivitas melemah, dan kepercayaan investor asing menurun akibat ketidakpastian kebijakan dan risiko politik.


Persaingan Teknologi: Medan Pertempuran Abad Ini

Teknologi kini berada di jantung konflik geopolitik ini.

AS masih memimpin dalam semikonduktor, AI, dan bioteknologi—tetapi pembatasan mereka justru mempercepat ambisi kemandirian teknologi China.

China tidak lagi sekadar meniru. Perusahaan seperti Huawei dan SMIC kini menjadi inovator global, bahkan mampu memproduksi chip 7nm di tengah sanksi berat.

China juga membangun ekosistem digital alternatif di negara-negara berkembang, menantang dominasi teknologi Barat. Namun, tantangan masih ada: kekurangan talenta, inefisiensi riset, dan ketergantungan pada komponen asing.


Kedamaian yang Rapuh

Perang dagang AS–China kini memasuki fase yang lebih kompleks—melampaui sekadar tarif, ini adalah pertarungan ideologi, teknologi, dan masa depan ekonomi global.

Kesepakatan terakhir hanya memberikan jeda sementara. Tanpa penegakan yang kuat, komitmen jangka panjang, dan reformasi struktural yang nyata, dunia hanya akan menghadapi ketenangan sebelum badai berikutnya.

Dunia tidak lagi mampu menghadapi satu dekade yang hilang. Jika kedua negara gagal memanfaatkan momen ini untuk membangun kerangka kerja berkelanjutan, dampaknya bisa sangat serius—bagi mereka, dan bagi kita semua.

Pegang kendali melalui
Smart Analysis Portal

Smart Analysis Portal kami menawarkan sistem yang mudah digunakan dengan berbagai fitur dan alat yang membantu pelanggan dengan berbagai gaya trading.