DETAIL

Serangan AS ke Fasilitas Nuklir Iran Guncang Stabilitas Ekonomi Global

Amerika Serikat kembali mengguncang dunia internasional dengan melancarkan serangan udara terhadap tiga fasilitas nuklir utama milik Iran pada Minggu dini hari, 22 Juni 2025. Serangan ini disebut-sebut sebagai operasi militer besar-besaran yang diarahkan langsung ke situs-situs strategis di Fordow, Natanz, dan Isfahan.

Presiden Donald Trump mengklaim bahwa serangan tersebut berhasil “melenyapkan” target yang dimaksud, namun para pejabat AS masih mengevaluasi sejauh mana dampaknya terhadap kelangsungan program nuklir Iran.

Laporan CNN menyebutkan bahwa pesawat siluman B-2 menjatuhkan bom penghancur bunker ke dua fasilitas utama, sementara rudal Tomahawk diarahkan ke Isfahan. Meski belum ada konfirmasi resmi terkait kerusakan detailnya, dampak geopolitik dan ekonomi dari operasi ini segera terasa.

Dampak Langsung: Ketegangan Meningkat, Harga Energi Berpotensi Melejit

Para analis memperingatkan bahwa tindakan militer ini dapat memicu respons keras dari Iran, termasuk kemungkinan menyerang aset energi milik AS, infrastruktur penting, atau bahkan menutup Selat Hormuz—jalur strategis bagi sekitar 20% perdagangan minyak global.

Rachel Ziemba, analis energi, menyebut kemungkinan pemblokiran Selat Hormuz sebagai skenario “berisiko tinggi meski kemungkinannya kecil,” namun tetap patut diwaspadai karena berpotensi mendorong harga minyak mentah melampaui $130 per barel jika terjadi. Parlemen Iran dikabarkan telah memberi dukungan terhadap wacana tersebut, meskipun keputusan akhir berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran.

Tak hanya itu, gangguan pasokan energi dan lonjakan harga minyak dikhawatirkan akan menekan perekonomian global yang saat ini masih rentan akibat efek domino perang dagang. Bank Dunia, IMF, dan OECD telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dalam beberapa bulan terakhir, menambah kekhawatiran akan perlambatan lebih lanjut.

Efek ke Pasar dan Kebijakan Moneter

Pasca serangan, minat terhadap kontrak derivatif minyak mentah meningkat tajam. Di IG Weekend Markets, volume perdagangan melonjak hampir 9%. Jika tren ini berlanjut, harga pembukaan minyak mentah WTI berpotensi mencapai $80 per barel. Dalam skenario ekstrem, harga bisa menembus $130 dan berkontribusi pada lonjakan inflasi hingga menyentuh 4% di AS pada musim panas mendatang.

Kondisi ini bisa memaksa bank sentral, termasuk Federal Reserve, untuk menunda rencana penurunan suku bunga. Ketua The Fed, Jerome Powell, dalam pernyataan terakhirnya menyampaikan bahwa lembaganya memantau situasi Timur Tengah secara cermat. Ia mengakui bahwa konflik di kawasan tersebut kerap menimbulkan lonjakan harga energi, meski belum terlihat dampak jangka panjang terhadap inflasi saat ini.

Namun, Powell juga menegaskan bahwa ekonomi AS saat ini lebih kuat dan lebih sedikit bergantung pada minyak impor dibandingkan era 1970-an, ketika guncangan minyak memberikan efek inflasi yang luar biasa.

Kesimpulan: Ketegangan Timur Tengah Uji Ketahanan Ekonomi Global

Serangan militer AS terhadap Iran telah membawa risiko geopolitik kembali ke garis depan perhatian pasar global. Meski efek langsung terhadap pasokan energi masih terbatas, ketidakpastian yang menyelimuti potensi respons Iran dan jalur distribusi energi dunia membuat volatilitas pasar diprediksi akan meningkat dalam waktu dekat.

Investor, pembuat kebijakan, dan pelaku industri kini harus bersiap menghadapi kemungkinan kenaikan harga energi dan tekanan inflasi, di tengah situasi geopolitik yang terus berkembang.

Pegang kendali melalui
Smart Analysis Portal

Smart Analysis Portal kami menawarkan sistem yang mudah digunakan dengan berbagai fitur dan alat yang membantu pelanggan dengan berbagai gaya trading.