Harga emas kembali mencuri perhatian global setelah menembus rekor tertinggi mendekati US$3.900 per ounce pada perdagangan terbaru. Lonjakan ini dipicu oleh gejolak politik di Washington, di mana kegagalan Kongres menyetujui rancangan anggaran memicu terjadinya shutdown resmi pemerintahan Amerika Serikat.
Meningkatnya ketidakpastian politik menekan posisi dolar AS, sementara investor global berbondong-bondong mencari perlindungan pada aset safe haven. Emas spot sempat diperdagangkan di sekitar US$3.893, sementara kontrak berjangka Desember melonjak hingga US$3.922—menandai level tertinggi sepanjang sejarah.
Tidak hanya emas, logam mulia lain seperti perak dan platinum juga terdorong naik tajam, bahkan mencatat level tertinggi dalam lebih dari satu dekade. Sebaliknya, logam industri seperti tembaga justru berbalik melemah, meski masih mencatatkan keuntungan tipis secara mingguan.
Kondisi pasar semakin rumit dengan adanya potensi penundaan rilis data ekonomi penting seperti Nonfarm Payrolls, karena sebagian besar lembaga federal terhenti operasionalnya akibat shutdown. Padahal, data tenaga kerja tersebut biasanya menjadi acuan utama bagi pasar dalam menilai arah kebijakan moneter The Federal Reserve.
Di tengah ketidakpastian ini, pejabat The Fed masih bersikap hati-hati. Beberapa di antaranya menegaskan bahwa pemangkasan suku bunga tambahan baru dapat dipertimbangkan apabila pasar tenaga kerja melemah lebih jauh. Hal ini menambah keraguan investor terhadap arah kebijakan moneter, sekaligus memperkuat posisi emas sebagai aset lindung nilai di masa penuh gejolak.
Dengan kombinasi krisis politik domestik AS, pelemahan dolar, dan ketidakpastian kebijakan moneter, emas semakin kokoh menempatkan dirinya sebagai primadona pasar. Banyak analis menilai, apabila ketidakpastian berlanjut, peluang emas untuk menembus level di atas US$4.000 per ounce bukan sekadar wacana, melainkan potensi nyata yang dapat terjadi dalam waktu dekat.